Menerapkan Disiplin pada Anak

Meski harus berjuang menyiapkan makanan untuk anak-anaknya, Wa Ipo tak pernah melupakan tugasnya sebagai ibu yang bertanggung jawab.
Wa Ipo akan bersikap tegas jika ada anak-anak yang terlambat pulang sekolah. Tak heran jika dimata anak-anaknya kala itu menganggap Wa Ipo sebagai ibu yang galak.
”Mama saya kejam, kalau anaknya pulang dari sekolah tidak tepat waktu, dia tanya teman-teman di tetangga. Dia pergi cari sambil bawa bambu buat dia pukul,” kenang Marnia, anak kesembilannya, yang disambut tawa ibunya.
”Jadi kalau kita mau berbuat kedua kalinya, sudah takut lagi. Kalau kita tidak pulang selama 1 minggu, mama juga akan meletakan sapu di depan rumah selama satu minggu,” tambah Marnia lagi.
Jika ada anaknya yang bolos sekolah atau enggan untuk bersekolah dengan alasan sederhana, Wa Ipo akan meminta anak yang bolos sekolah itu mengangon kambing di kebun. ”Jadi lebih baik sekolah,” ujar Marnia tertawa.
Wa Ipo melakukan itu karena ingin membuat anak-anaknya jera. Beruntung, sekali dimarahi, anak-anaknya langsung nurut dan tidak mengulanginya lagi.
Namun galak yang ditunjukkan ibunya hanya saat anak-anak usia sekolah dasar. Setelah meningkat ke usia SMP, ibunya sudah tak lagi menggunakan tangan dalam menghukum.
”Karena anak-anak sudah saling mengingatkan, jangan seperti itu, nanti mama marah,” kenang Marnia.
Cara didik Wa Ipo juga berbeda dengan ibu kebanyakan. Meski prioritas sekolah, Wa Ipo justru meminta anaknya untuk membantu jualan sepulang sekolah.
”Kami anak-anak tidak ada kesempatan untuk main. Pulang sekolah langsung disuruh makan, lalu mama sudah menyiapkan jualan gorengan untuk dijual di pelabuhan. Saya anak pertama, anak kedua dan yang ketiga merasakan cara mama mendidik kami seperti itu,” kata Aminah.
Aminah bersama dua adiknya berjualan di pelabuhan sambil menunggu kapal datang dan kapal berangkat sesuai dengan jam sibuk kapal dan keramaian orang.
Bukan tanpa alsan Wa Ipo mendidik anaknya seperti itu. KArena menurutnya, dengan menyuruh anak berjualan, dia telah melatih anak untuk selalu hidup sederhana.
”Kalau nanti dia rasakan menderita, dia sudah terbiasa. Tapi kalau dia dapatkan bahagia, Alhamdulillah. Jangan sampai nanti dia menderita lalu jadi pencuri. Saya mendidik dengan keras dan melatih disiplin pada anak-anak,” tegas Wa Ipo.
Meski begitu, dimata anak-anaknya, Wa Ipo merupakan ibu yang sangat pintar, terutama pelajaran Matematika. Walaupun cara yang digunakannya berbeda dengan guru di sekolah, ibunya bisa menjawab soal matematika dengan tepat.
Wa Ipo akan meluangkan waktunya sejenak untuk mengajarkan anak-anaknya. Lalu bagaimana dengan cara mendidik bapak? Menurut Aminah, ayah dan ibunya sering berdebat tentang cara mendidik anak.
Ayahnya sangat penyayang dengan anak-anaknya dan tidak menginkan anaknya dididik dengan keras, tapi ibunya justru mendidik sebaliknya.
Didikan Wa Ipo yang lebih banyak melekat ke anak karena hampir setiap hari dia bersama anak-anak, sementara ayahnya jarang dirumah karena tugas sebagai juru penerangan desa.
”Kita bersyukur dididik seperti itu. Kalau dibiarkan saja, pasti tidak seperti sekarang ini yang bisa melebihi kehidupan orang tua dulu. Saya salut dengan cara mama mendidik dengan displin dan tegas,” kata Aminah.
Salah satu didikan Wa Ipo yang ada hingga saat ini dan diteruskan ke cucu-cucunya yakni kebiasaan bangun pagi. Hampir setiap hari Wa Ipo bangun jam 3 dini hari, lalu dia akan membangunkan anak-anaknya.
”Kalau bangun siang, katanya nanti rezekinya dipatok ayam. Sampai sekarang, kalau cucu-cucunya menginap di rumah nenek, jam 3 sudah pasti dibangunkan,” kata Marnia tertawa.

Perjalanan ke 11 anak Wa Ipo menempuh pendidikan tentu tidak berjalan dengan mulus. Keterbatasan biaya serta jumlah tanggungan yang lumayan banyak membuat anak-anaknya harus berfikir ulang saat meminta hak pendidikan pada orang tuanya.
Seperti yang dialami anak pertamanya, Aminah. Saat duduk dibangku SMA, disekolahnya sering diadakan sosialisasi tentang profesi. ”Dalam hati saya, ingin sekali jadi seperti itu, dokter, polwan atau apapun. Tapi saya berpikir, bagaimana bisa mewujudkan itu sedangkan keuangan orang ua saya tidak banyak dan adik-adik masih kecil. Gaji bapak juga segitu-gitu saja,” kenang Aminah.
Tapi Aminah lantas dapat jalan keluar. Dia diterima kuliah di Universitas Haluoleo, Kendari dan mendapatkan beasiswa. ”Mama mendukung saya untuk mengikuti apa yang ada dalam hati saya. Rezeki itu datang dari Allah. Saya pengen banget kuliah,” kenang Aminah.
Aminah bahkan sudah mengantisipasi jika ditengah jalan proses kuliahnya terhenti karena kondisi keuangan ayahnya. Dia akan nekad bekerja sebagai pembantu rumah tangga demi mendapatkan kesempatan untuk kuliah.
Beruntung, proses kuliah Aminah tidak tertunda. Dia berhasil lulus dengan waktu yang tepat.
Selepas kuliah di Kendari, dia pulang ke kampung halamannya di Raha, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Tapi oleh ayahnya Aminah diminta untuk kembali ke Kendari.
”Karena katanya kalau saya tinggal di kampung, informasi akan tertinggal banyak. Orang sudah selesai tes, kita baru dapat undangan,” kenang Aminah tersenyum.
Beruntung, bertepatan dengan itu dibuka pendaftaran calon pegawai negeri sipil untuk posisi guru. Aminah tak melewatkan kesempatan itu dan ternyata berhasil lolos menjadi PNS. Saat ini Aminah mengajar di STM Negeri di Kendari.
Berbeda dengan Aminah, cerita tentang kuliah dari anak kedua justru tak semulus kakaknya. Wa  Ipo sebenarnya mengusahakan Asna Salenda, anak keduanya, untuk kuliah. Tapi karena keterbatasan, Asna terpaksa putus kuliah.
Dia kembali ke kampung halamannya dan menikah dengan seorang guru PNS. Setelah menikah, Asna baru melanjutkan kuliah lagi dan saat ini menjadi kepala sekolah TK/PAUD Aisyiah di Desa Liabalano, Kecamatan Kontunaga, Kabupaten Muna.
Cerita perkuliahan dari anak ketiga pun tak kalah memprihatinkan. Untuk biaya kuliah anak ketiga, Muhammad Salam, orang tuanya tak terlalu berat karena mendapatkan beasiswa dari Universitas Haluo
leo, Kendari.
Tapi urusan tempat tinggal dan makan, Salam terpaksa menumpang pada kakak pertamanya. ”Saya tidak bisa kasih uang, hanya bisa kasih tinggal dan makan. Semua adik-adik sekolah SMA-nya di Kendari, jadi mereka pindah ke Kendari dan tinggal sama saya. Hanya itu yang bisa saya lakukan untuk meringankan beban orang tua,” kata Aminah.


Sedang lancar-lancarnya Salam menempuh pendidikan, ujian berat justru datang pada keluarga Wa Ipo. Bulan April 1992 tulang punggung mereka, ayah tercinta, dipanggil Yang Maha Kuasa untuk selama-lamanya.
Kondisi tersebut membuat sedih Wa Ipo dan anak-anaknya, terutama Salam. Karena ketika itu Salam sedang menjalani kuliah akhir dan membutuhkan biaya cukup besar.
Setelah meninggal suaminya, Wa Ipo lantas berpikir keras bagaimana anak ketiganya itu bisa lulus kuliah. Beruntung, saat itu bertepatan dengan panen jambu mete milik kebunnya. Hasil dari panen tersebut akhirnya dibuat untuk menyelesaikan wisuda anak ketiga. ”Saya bisa seperti itu karena dibantu oleh anak yang punya kemauan dan sabar,” ujar Wa Ipo.
Setelah ayahnya meninggal, kelanjutan pendidikan adiknya langsung dibagi-bagi kepada kakak tertua. Mereka tetap bersekolah di Raha hingga duduk di SMP.
Selepas SMP, mereka hijrah ke Kota Kendari untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik dan pemikiran yang terbuka. ”Ayah yang berpesan, kalau mau maju harus tinggal di kota. Jadi bergantian adik-adik tinggal sama kakak-kakanya. Semua SMA-nya di Kendari,” kenang Aminah.
Pinjam Tetangga
Meski dibantu oleh anak pertamanya, tapi tak semuanya dapat terpenuhi dengan baik. Di kampung, masih ada anak-anak Wa Ipo yang masih kecil-kecil.
Mereka yang ketika itu masih duduk dibangku Sekolah Dasar masih membutuhkan biaya cukup banyak untuk sekolah. ”Saya ketiga dari bungsu, setelah bapak meninggal, untuk bayar SPP sekolah mama selalu pinjam uang ke tetangga,” kenang Marnia Salenda, anak kesembilannya.
”Setiap saya bilang, ‘Ma, bayar uang SPP’, Mama tidak pernah bilang tidak ada uang. Dia selalu bilang, ada. Saya tidak tahu uang dari mana, ternyata pinjam dari orang,” tambah Marnia lagi.
Melihat kondisi ibunya seperti itu, anak-anak Wa Ipo lantas tak pernah menuntut macam-macam. ”Untuk bayar SPP saja susah, apalagi minta yang lain-lain. Kami juga takut minta macam-macam, karena mama pasti mengusahakan meskipun dengan berhutang,” katanya.
Kondisi seperti itu akhirnya membuat anak-anaknya kreatif untuk mencari tambahan uang sendiri. Marnia misalnya, iseng-iseng mengajar mengaji anak-anak dekat rumahnya ternyata dapat menghasilkan uang. Tiba-tiba dia dibayar Rp. 100 ribu sebagai honor mengajar mengaji.
Begitu juga yang dilakukan Muliadin Salenda, anak kedelapannya. Muliadin ikhlas menempuh perjalanan jauh berjalan kaki dengan sepatu yang sudah menganga demi bisa sekolah SMA.
Meski begitu, prestasi Muliadin cukup baik. Dia bisa mendapatkan beasiswa kuliah di Universitas Haluoleo, Kendari, lewat jalur siswa berprestasi.
Di kampus, Muliadin menjadi mahasiswa yang aktif. Dia rutin ikut oraganisasi. ”Sebenarnya selain saya mencari ilmu di organisasi, saya aktif juga karena untuk cari makan. Setiap ada kegiatan, kan pasti ada makan-makannya,” kenang Muliadin tertawa.
Muliadin juga menambah uang saku jajannya lewat lomba tulis di kampusnya. ”Alhamdulillah juara dan dapat uang dari situ. Apapun saya lakukan untuk bisa meringankan beban mama saat itu. Modal kami kesabaran dan menerima kondisi apa adanya,” kata Muliadin.
Satu hal yang masih diingat anak-anak tentang ibunya, bahwa setiap kali ibunya member uang kepada anaknya, sekecil apapun itu, pasti diniatkan dengan doa.
Wa Ipo tidak memberikan uang begitu saja, tapi meminta anaknya mencium tangan. Di saat itulah ibunya meniatkan uang pemberiannya.
”Saya niatkan, apa pentingnya uang itu dan digunakan untuk apa. Saya berharap ada hasil baik dari uang itu dan tidak sia-sia. Walaupun sedikit yang penting bisa bermanfaat,” pungkas Wa Ipo bersyukur. * (Bunga Kusuma Dewi)
0
Tags

Post a Comment

0Comments

Tinggalkan Pesan Buat Kami

Post a Comment (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !